Menyelami Hakikat Puasa

Ramadhan adalah bulan yang memiliki kemuliaan diatas kemuliaan. Bagaimana tidak, bulan ini sendiri memiliki keutamaan diatas bulan-bulan yang lain. Di bulan ini ada syari’at puasa dan puasa adalah ibadah yang memiliki keutamaan tersendiri diatas ibadah-ibadah yang lain. Di bulan ini diturunkan Al-Qur`an dan Al-Qur`an adalah kitab paling mulia yang memiliki keutamaan diatas kitab-kitab suci yang lain. Dan di bulan ini pula terdapat lailatul qadar dan lailatul qadar adalah malam paling mulia yang memiliki keutamaan diatas malam-malam yang lain.

Bukan disini tempatnya membahas keutamaan-keutamaan tersebut. Yang akan dibahas disini adalah hal yang banyak luput dari kaum muslimin perihal puasa yang telah biasa mereka lakukan di setiap bulan Ramadhan. Hal ini seakan menjadi rahasia yang tersembunyi, banyak kaum muslimin yang tidak menyadarinya. Hal yang dimaksud adalah hakikat puasa, bahkan hakikatnya yang paling dalam, yang paling agung.

Sungguh disayangkan, kesempatan bulan Ramadhan yang memiliki keutamaan sangat agung itu banyak disia-siakan, pun tidak maksimal jika digunakan. Ketidak-sadaraan kaum muslimin terhadap hakikat puasa inilah yang turut menjadi sebab tidak maksimalnya kaum muslimin dalam mendulang pahala sebanyak mungkin di bulan Ramadhan.

Lalu apa hakikat puasa yang banyak luput dari kaum muslimin itu? Untuk mengetahuinya, kita perlu menelusuri pemahaman yang umum diketahui oleh kaum muslimin mengenai puasa. Jika ditanyakan kepada mereka, apa yang dimaksud dengan puasa? Kita akan mendapatkan kebanyakan jawaban mereka menyatakan bahwa puasa adalah menahan diri dari makan minum mulai dari terbit fajar sampai terbenam matahari. Atau mungkin kita mendengar jawaban yang lebih lengkap bahwa puasa adalah menahan diri dari makan, minum, dan segala hal yang membatalkan puasa mulai dari terbit fajar hingga terbenam matahari, dengan tambahan “segala hal yang membatalkan puasa”.

Jawaban itu mencermirkan sejauh mana pemahaman kaum muslimin tentang hakikat puasa. Ternyata, pemahaman mereka sebatas sampai disitu saja. Mereka memahami bahwa puasa hanya sebatas menahan makan dan minum serta hal-hal yang membatalkan puasa saja. Dengan kata lain, capaian mereka dalam berpuasa terbatas hanya untuk mencapai puasa yang sah dan tidak batal. Selama puasa mereka sah, itu cukup bagi mereka. Mari kita anggap pemahaman seperti ini adalah pemahaman level pertama.

Seorang muslim yang pemahamannya lebih baik tentu tidak akan merasa cukup dan nyaman dengan pemahaman level pertama. Sebab, mereka tahu betapa banyak manusia yang puasanya sah namun tidak mendapatkan apa-apa dari puasanya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda dalam sebuah hadits shahih riwayat At-Thabrani dan dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam Shohih At Targib wa At Tarhib no. 1084 ,

رُبَّ صَائِمٍ حَظُّهُ مِنْ صِيَامِهِ الجُوْعُ وَالعَطَشُ

“betapa banyak orang yang berpuasa, mereka tidak mendapatkan apapun dari puasanya melainkan hanya rasa lapar dan haus saja”.

Mengapa mereka hanya mendapatkan lapar dan haus saja? Karena mereka kehilangan pahala puasa mereka. Lalu mengapa mereka kehilangan pahala puasa? Karena puasa tidak menghalangi mereka dari melakukan perbuatan dosa dan maksiat, walaupun tidak sampai membatalkan puasa, seperti berbohong, bergosip, menyakiti orang lain, dan maksiat-maksiat lainnya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

مَنْ لَمْ يَدَعْ قَوْلَ الزُّورِ وَالْعَمَلَ بِهِ فَلَيْسَ لِلَّهِ حَاجَةٌ فِى أَنْ يَدَعَ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ

“Barangsiapa yang tidak meninggalkan perkataan dusta dan malah mengamalkannya, maka Allah tidak butuh dari rasa lapar dan haus yang dia tahan.” (HR. Bukhari no. 1903).

Jabir bin ‘Abdillah radhiyallahu ‘anhu berkata, “Seandainya kamu berpuasa maka hendaknya pendengaranmu, penglihatanmu dan lisanmu turut berpuasa dari dusta dan hal-hal haram serta janganlah kamu menyakiti tetangga” (Latho’if Al Ma’arif, 1/168).

Oleh karena itu, tidak sekedar memahami puasa hanya sebagai ritual menahan makan, minum, dan hal-hal yang membatalkan puasa saja, orang-orang muslim yang memiliki pemahaman lebih baik memahami bahwa puasa adalah menahan diri dari segala hal yang membatalkan puasa dan juga dari segala hal yang dapat menghilangkan atau mengurangi pahala puasa.

Capaian mereka dalam berpuasa beralih dari hanya sekedar mencapai puasa yang sah, kepada mencapai puasa yang sah sekaligus berpahala. Dengan ini, mereka diganjar pahala di setiap puasa yang mereka lakukan dan mereka adalah orang-orang yang beruntung karena Allah ‘Azza wa Jalla sendiri yang akan membalas puasa. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

كُلُّ عَمَلِ ابْنِ آدَمَ يُضَاعَفُ الْحَسَنَةُ عَشْرُ أَمْثَالِهَا إِلَى سَبْعِمِائَةِ ضِعْفٍ قَالَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ إِلاَّ الصَّوْمَ فَإِنَّهُ لِى وَأَنَا أَجْزِى بِهِ يَدَعُ شَهْوَتَهُ وَطَعَامَهُ مِنْ أَجْلِى

“Setiap amalan kebaikan anak Adam akan dilipatgandakan menjadi 10 hingga 700 kali dari kebaikan yang semisal. Allah ‘Azza wa Jalla berfirman, “Kecuali puasa, amalan tersebut untuk-Ku dan Aku sendiri yang akan membalasnya karena dia telah meninggalkan syahwat dan makanannya demi Aku.” (HR. Muslim no. 1151)

Lihatlah, amalan lain selain puasa akan diganjar dengan 10 hingga 700 kali dari kebaikan yang semisal. Namun, khusus puasa, amalan ini Allah ‘Azza wa Jalla sendiri yang akan membalasnya. Ibnu Rojab rahimahullah berkata menjelaskan hadits ini dengan penjelasan yang sangat baik:

“Hadits ini berbicara tentang pengecualian puasa dari amalan yang dilipatgandakan menjadi 10 kebaikan hingga 700 kebaikan yang semisal. khusus untuk puasa, tak terbatas lipatan ganjarannya dalam bilangan-bilangan tadi. Bahkan Allah ‘Azza wa Jalla akan melipatgandakan pahala orang yang berpuasa hingga bilangan yang tak terhingga. Alasannya karena puasa itu mirip dengan sabar. Allah ‘Azza wa Jalla berfirman tentang ganjaran bagi orang-orang yang sabar,

إِنَّمَا يُوَفَّى الصَّابِرُونَ أَجْرَهُمْ بِغَيْرِ حِسَابٍ

Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang dibalas dengan pahala tanpa batas.” (QS. Az Zumar [39]: 10). Ya! Tanpa batas!.

Apakah selesai sampai disini? Inikah hakikat puasa yang terdalam? Bahwa puasa adalah menahan diri dari segala hal yang membatalkan puasa dan juga dari segala hal yang menghilangkan atau mengurangi pahala puasa? Jawabannya tidak. Ini hanyalah pemahaman level kedua.

Ada lagi pemahaman yang lebih tinggi, dan ini adalah pemahaman yang paling tinggi, yang hanya difahami oleh orang-orang yang memiliki keimanan yang sangat tinggi. Mereka tidak cukup hanya mendapatkan pahala puasa saja sebab mereka menyadari keutamaan bulan Ramadhan, bahwa ia adalah diantara waktu-waktu yang mulia, bahkan sangat mulia dimana seluruh pahala amalan dilipatgandakan. Mereka tidak mau membuang kesempatan ini dengan sia-sia.

Inilah pemahaman tentang puasa yang tertinggi, hakikat puasa yang terdalam, yaitu bahwa puasa adalah menahan diri dari segala hal yang membatalkan puasa, dari segala hal yang menghilangkan atau mengurangi pahala puasa, dan dari sikap berlebihan dalam segala perkara mubah yang sia-sia, tidak berfaidah, atau kurang membawa manfaat.

Perhatikan tambahannya, “dan dari sikap berlebihan dalam segala perkara mubah yang sia-sia, tidak berfaidah, atau kurang membawa manfaat”. Ya! Ini yang banyak luput dari kaum muslimin. Sedikit sekali kaum muslimin yang menyadarinya. Kita lihat kebanyakan mereka menghabiskan waktu-waktu bulan Ramadhan dengan hal-hal yang sebenarnya kurang bermanfaat, atau bahkan tidak bermanfaat sama sekali. Ada yang menghabiskan waktunya dengan banyak tidur, sms-an, jalan-jalan, banyak berbelanja, banyak menonton TV, banyak membaca koran, internetan, banyak bermain dengan facebook atau tweeter, atau banyak bermain game komputer. Kita tahu bahwa memang semua itu pada dasarnya merupakan perkara mubah yang boleh-boleh saja dilakukan.

Namun, sungguh sangat disayangkan jika waktu-waktu emas bulan Ramadhan harus habis untuk hal-hal seperti itu. Sejatinya, tidak boleh ada sedetikpun dari Ramadhan kecuali kita isi dengan sesuatu yang membawa manfaat bagi dunia dan akhirat kita. Seluruh waktu di bulan Ramadhan seharusnya kita manfaatkan untuk mendulang pahala sebesar-besarnya dan ini tidak mungkin dilakukan kecuali dengan meninggalkan dan menahan diri dari sikap berlebihan dalam hal-hal yang kurang berfaidah tersebut.

Tentunya, ini sangat sulit dan berat untuk dilakukan kecuali bagi orang-orang yang dibantu dan dibimbing oleh Allah ‘Azza wa Jalla. Bagaimana tidak? Kebanyakan kaum muslimin sudah terbiasa dengannya, terbiasa menghabiskan waktu mereka untuk hal-hal semacam itu, bahkan tidak hanya di bulan Ramadhan. Apalagi di bulan Ramadhan dimana siangnya mereka harus berpuasa, mengerjakan hal-hal semacam itu menjadi lebih asyik karena waktu seakan bergulir lebih cepat tak terasa. Puasa terasa menjadi “ lebih ringan” sebab tak terasa tiba-tiba waktu maghrib datang dan waktunya berbuka.

Oleh karena itu, meninggalkan hal-hal semacam ini butuh kesungguhan yang luar biasa. Dan terbayanglah betapa besar pahala orang-orang yang berhasil menahan diri mereka dari hal-hal ini dan beralih menghabiskan waktu Ramadhan mereka seluruhnya dalam rangka ibadah. Karena, kaidah mengatakan semakin terasa berat suatu amalan di hati, semakin besar pahalanya jika dikerjakan. Hal ini disebabkan karena ia mendapat pahala ekstra akibat melawan rasa berat dihatinya.

Ia lawan keinginannya sms-an, bermain facebook, tweeter, atau game-game komputer lalu ia ganti dengan memperbanyak dzikir, tilawah, dan shalat sunnah. Ia tahan keinginannya berjalan-jalan dan berbelanja lalu ia ganti dengan bersilaturrahim ke rumah saudara, atau mengunjungi fakir miskin dan memberi mereka sedekah. Ia tepis keinginannya menonton TV atau membaca koran lalu ia ganti dengan membaca buku-buku islam atau menghadiri dan mendengarkan kajian-kajian islam.

Mereka yang berhasil melakukannya adalah  orang-orang yang teruji keimanannya dan baik keislamannya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

مِنْ حُسْنِ إِسْلاَمِ الْمَرْءِ تَرْكُهُ مَا لاَ يَعْنِيهِ

“diantara tanda-tanda baiknya keislaman seseorang adalah meninggalkan hal-hal yang tidak bermanfaat baginya” (HR. Tirmidzi no.2317 dan dishahihkan oleh Syaikh Al-Albanirahimahullah).

Ibnu Rajab rahimahullah berkata, “Hadits ini bermakna bahwa diantara kebaikan Islam seseorang adalah meninggalkan hal yang tidak bermanfaat baik berupa perkataan atau perbuatan. Jika Islam seseorang itu baik, maka sudah tentu ia meninggalkan pula perkara yang haram, yang syubhat dan yang makruh, begitu pula berlebihan dalam hal mubah yang sebenarnya ia tidak butuh” (Jami’ul ‘Ulum wal Hikam 1/288-289). Di Bulan Ramadhan, hadits ini tentu lebih berhak lagi untuk diamalkan.

 Demikianlah hakikat puasa yang terdalam, bahwa puasa tidak hanya sekedar ritual menahan diri dari segala hal yang membatalkan puasa agar puasanya sah, dan juga tidak hanya sekedar menahan diri dari segala hal yang menghilangkan atau mengurangi pahala puasa agar puasanya bernilai pahala, akan tetapi juga menahan diri dari sikap berlebihan dalam segala perkara mubah yang sia-sia, tidak berfaidah, atau kurang membawa manfaat, agar pahala yang ia dapatkan maksimal, semaksimal-maksimalnya. Inilah pemahaman level ketiga, level yang tertinggi. Bahkan ini dapat menjadi ajang latihan bagi seorang hamba sehingga ia tetap dalam keadaan seperti ini di luar bulan Ramadhan, tidak berlebihan dalam perkara-perkara mubah yang kurang bermanfaat.

Semoga Allah ‘Azza wa Jalla membimbing kita untuk mengamalkan hakikat puasa yang terdalam ini, membuat diri kita istiqamah dalam mengamalkannya, serta membantu kita dalam menepis rintangan-rintangan dalam mengamalkannya.

Wa shallallahu ‘alaa Muhammadin wa ‘alaa `aalihi wa ashhaabihi wa sallam.

Tinggalkan komentar